PERJUANGAN DIPLOMASI BANGSA INDONESIA DALAM MEREBUT
IRIAN BARAT
Setelah proses pengakuan kedaulatan
Indonesia masih mempunyai satu permasalahan dengan Belanda yaitu masalah Irian
Barat. Gambar di atas pasukan Brimob yang diterjunkan di Fak-Fak, Irian Barat
pada tanggal 15 Mei 1962 untuk merebut Irian Barat dari tangan Belanda. Langkah
apa yang dilakukan pemerintah? Seringkali di masyarakat terjadi kasus
persengketaan antarsaudara atau dengan tetangga disebabkan rebutan batas tanah.
Persengkataan ini seringkali meretakkan hubungan bersaudara maupun bertetangga.
Sebab dalam masalah hak tanah seringkali orang mempertahankan mati-matian,
bahkan orang Jawa mengatakan ”Sedumuk Bathuk Senyari Bumi”. Maksudnya, dalam
mempertahankan hak tanah mereka memperjuangkan walaupun sampai titik darah
penghabisan. Begitu juga bangsa Indonesia dalam upaya mempertahankan wilayah
Irian Barat (sekarang Papua) ketika hendak diduduki Belanda setelah diakuinya
kedaulatan RI pada tanggal 27 Desember 1949. Bangsa Indonesia harus berjuang
dengan berbagai macam cara untuk merebut kembali Irian Barat.
Latar Belakang.
Sekalipun pada tanggal 17 Agustus 1950 terjadi perubahan ketatanegaraan di
Indonesia dari RIS menjadi NKRI, tetapi masalah Irian Barat belum
terselesaikan. Berikut ini beberapa langkah diplomasi dalam penyelesaian Irian
Barat:
1. Tanggal 4
Desember 1950 diadakan konferensi Uni Indonesia Belanda. Dalam konferensi itu
Indonesia mengusulkan agar Belanda menyerahkan Irian Barat secara de jure.
Namun ditolak oleh Belanda.
2. Pada bulan
Desember 1951 diadakan perundingan bilateral antara Indonesia dan Belanda.
Perundingan ini membahas pembatalan uni dan masuknya Irian Barat ke wilayah
NKRI, namun gagal.
3. Pada bulan
September 1952, Indonesia mengirim nota politik tentang perundingan Indonesia
Belanda mengenai Irian Barat, namun gagal.
Perjuangan Diplomasi Tingkat Internasional:
Dalam Konferensi Colombo bulan April 1954, Indonesia memajukan masalah
Irian Barat. Indonesia berhasil mendapat dukungan.
Pada tahun 1954 Indonesia mengajukan masalah Irian Barat dalam sidang PBB.
Namun mengalami kegagalan karena tidak memperoleh dukungan yang kuat. Dalam KAA tahun 1955 Indonesia mendapat dukungan dalam
masalah Irian Barat. Hingga tahun
1956, perundingan antara Indonesia dan Belanda mengenai masalah Irian Barat
mengalami kegagalan.
Jalan diplomasi yang ditempuh pemerintah Indonesia merupakan langkah awal
dalam rangka pengembalian Irian Barat. Dalam Konferensi Meja Bundar (KMB)
sebenarnya telah dinyatakan bahwa Kerajaan Belanda akan menyerahkan kedaulatan
wilayah Irian Barat kepada Republik Indonesia Serikat dengan tidak bersyarat
dan tidak dapat dicabut.
Karena Belanda tidak mematuhi isi KMB, maka pada tahun 1954 pemerintah
Indonesia membawaPBB. Persoalan Irian Barat berulang kali dimasukkan ke dalam
agenda Sidang Majelis Umum PBB, tatapi tidak memperoleh tanggapan yang positif.
Pada tahun 1957, menteri luar negeri Republik Indonesia berpidato di depan
Sidang Majelis Umum PBB. Isi pidatonya antara lain menyatakan bahwa mengenai
Irian Barat pemerintah Indonesia akan menempuh cara lain setelah cara diplomasi
tidak berhasil menyelesaikannya. Nada keras yang dilontarkan Menteri Luar
Negeri Indonesia tersebut tidak mampu mengubah pendirian negara-negarapendukung
Belanda. Dukungan negara-negara terhadap Belanda semakin kuat ketika persaingan
antara Blok Barat dan Blok Timur semakin menguat dalam suasana Perang Dingin.
Karena dukungan sejumlah negara terhadap penguasaan wilayah Irian Barat,
Kerajaan Belanda tidak mau menyerahkan Irian Barat kepada pemerintah Indonesia.
Semua partai dan golongan/ormas yang ada di Indonesia mendukung usaha
pembebasan Irian Barat. Irian Barat merupakan bagian wilayah Indonesia. Pada
tahun 1957, pemerintah Indonesia melancarkan aksi-aksi untuk mengembalikan
Irian Barat ke Indonesia. Langkah awal yang dilaksanakan adalah mengambil alih
perusahaan milik Belanda di Indonesia. Pada tanggal 17 Agustus 1960, Indonesia
memutuskan hubungan diplomatik dengan pemerintah Belanda. Sehubungan dengan
masalah Irian Barat, Presiden Soekarno berpidato di depan Sidang Umum PBB pada
tahun 1960.
Dalam
pidatonya yang berjudul “Membangun Dunia Kembali”, Presiden Soekarno
menyatakan:
“Kami telah berusaha untuk menyelesaikan masalah Irian
Barat. Kami telah berusaha dengan sungguhsungguh dan dengan penuh kesabaran dan
penuh toleransi dan penuh harapan. Kami telah berusaha untuk mengadakan
perundingan-perundingan bilateral. Harapan lenyap, kesabaran hilang, bahkan
toleransi pun telah mencapai batasnya. Semuanya itu kini telah habis dan
Belanda tidak memberikan alternatif lainnya, kecuali memperkeras sikap kami.”
Masalah Irian Barat diangkat kembali ke sidang PBB
pada tahun 1961. Pada waktu itu yang menjadi Sekjen PBB adalah U Thant. U Thant
menunjuk Ellsworth Bunker (diplomat Amerika Serikat) untuk mengajukan usul
mengenai masalah Irian Barat. Bunker mengusulkan agar pihak Belanda menyerahkan
kedaulatan Irian Barat kepada Republik Indonesia.
Penyerahan itu dilakukan melalui PBB dalam waktu dua
tahun. Usulan tersebut pada prinsipnyadisetujui oleh Belanda dan Indonesia.
Indonesia menghendaki waktu penyerahan lebih dipercepat dan Belanda menghendaki
adanya semacam perwakilan di bawah PBB, yang kemudian membentuk Negara Papua.
a. perjuangan diplomasi bilateral. Setahun setelah irian
barat dikuasai Belanda, pemerintah Belanda berusaha menyelesaikan masalah melalui
perundingan bilateral dalam lingkungan ikatan uni Indonesia-Belanda
(1950-1953), perundingan ini gagal. Berikut ini beberapa langkah diplomasi
dalam penyelesaian irian barat :
1) Tanggal 4 desember 1950 di adakan konferensi uni
Indonesia Belanda. Indonesia mengusulkan agar Belanda menyerahkan irian barat
secara de jure, namun ditolak Belanda.
2) Pada bulan desember 1951 diadakan perundingan
bilateral antara Indonesia dan Belanda. Perundingan ini membahas pembatalan uni
dan masuknya irian barat wilayah NKRI, namun gagal.
3) Pada bulan September 1952, Indonesia mengirim nota
politik tentang perundingan Indonesia Belanda mengenai irian barat, namun
gagal.
Melalui
jalur yang panjang dari kabinet ke kabinet lain.
1) Usaha kabinet natsir kabinet natsir pada bulan
desember 1950 mengadakan perundingan dengan Belanda, tetapi menempuh jalan
buntu (deadlock). Belanda kemudian justru memperkuat pertahanannya di Irian
Barat.
2) Usaha kabinet Ali 1 Program kabinet Ali melanjutkan
usaha diplomasi yang telah dilakukan cabinet sebelumnya.maksud dari program
tersebut adalah untuk menarik perhatian internasional terhadap masalah irian
barat. Memang Belanda menganggap masalah Irian Barat sebagai masalah
internasional. Pada tahun 1954 mulailah masalah ini diangkat untuk pertama kali
dalam sidang PBB, tetapi mengalami
kegagalan karena tidak mencukupi 2/3 jumlah anggota.
3) Usaha kabinet Burhanuddin Harahap Kabinet Burhanuddin
pada tahun 1955 memulai lagi perundingan dalam siding umum PBB. Pada saat itu
Belanda menentukan syarat-syarat yang mengada-ada. Perundingan pun mengalami
deadlock. Indonesia terpaksa membubarkan Uni Indonesia-Belanda pada tanggal 15
februari 1956.
4) Usaha Kabinet Ali II Kabinet Ali II Melanjutkan
tindakan keras cabinet Burhanuddin Harahap dengan membubarkan seluruh isi
perjanjian KMB.
Perjuangan diplomasi Indonesia menempuh tahap
kedua, yakni membawa masalah irian barat kesidang PBB. Sambil melakukan cara
ini, Indonesia menyiapkan operasi militer untuk menunjukan kesungguhan
sekaligus memperkuat posisi Indonesia.
Cara dan upaya pemerintah untuk merebut irian barat
Perjanjian diplomasi.
a. perjuangan diplomasi bilateral. Setahun setelah irian
barat dikuasai Belanda, pemerintah Belanda berusaha menyelesaikan masalah melalui
perundingan bilateral dalam lingkungan ikatan uni Indonesia-Belanda
(1950-1953), perundingan ini gagal. Berikut ini beberapa langkah diplomasi
dalam penyelesaian irian barat :
1) Tanggal 4 desember 1950 di adakan konferensi uni
Indonesia Belanda. Indonesia mengusulkan agar Belanda menyerahkan irian barat
secara de jure, namun ditolak Belanda.
2) Pada bulan desember 1951 diadakan perundingan
bilateral antara Indonesia dan Belanda. Perundingan ini membahas pembatalan uni
dan masuknya irian barat wilayah NKRI, namun gagal.
3) Pada bulan September 1952, Indonesia mengirim nota
politik tentang perundingan Indonesia Belanda mengenai irian barat, namun
gagal.
Menurut ketentuan Konferensi Meja Bundar ( KMB ), masalah Irian Barat
ditunda penyelesaiannya setahun kemudian. Oleh karena itu, pada waktu
berlangsung upacara pengakuan kedaulatan, wilayah Irian barat tidak termasuk
sebagai daerah RIS.
Berdasarkan keputusan KMB, semestinya pada akhir tahun 1950 sudah ada upaya
Belanda untuk mengembalikan Irian Barat kepada pihak Indonesia. Akan tetapi,
tampaknya keputusan KMB yang berkaitan dengan Irian Barat tidak berjalan
lancar. Belanda tampak ingin tetap mempertahankan Irian Barat. Oleh karena
itulah, Indonesia berusaha mengembalikan Irian Barat melalui upaya diplomasi
dan berunding langsung dengan Belanda.
Beberapa kabinet pada masa demokrasi liberal juga memiliki program
pengembalian Irian Barat ke pangkuan Republik Indonesia. Setiap kabinet mencoba
melakukan perundingan dengan Belanda. Perundingan itu misalnya pada masa
Kabinet Natsir, Sukiman, Ali Sastroamidjojo dan Burhanuddin Harahap. Bahkan
pada masa Kabinet Burhanudin Harahap diadakan pertemuan antara Menteri Luar
Negeri Anak Agung dan Luns di Den Haag. Akan tetapiperundingan-perundingan itu
tidak berhasil mengembalikan Irian Barat.
Melalui
jalur yang panjang dari kabinet ke kabinet lain.
1) Usaha kabinet natsir kabinet natsir pada bulan
desember 1950 mengadakan perundingan dengan Belanda, tetapi menempuh jalan
buntu (deadlock). Belanda kemudian justru memperkuat pertahanannya di Irian
Barat.
2) Usaha kabinet Ali 1 Program kabinet Ali melanjutkan
usaha diplomasi yang telah dilakukan cabinet sebelumnya.maksud dari program
tersebut adalah untuk menarik perhatian internasional terhadap masalah irian
barat. Memang Belanda menganggap masalah Irian Barat sebagai masalah
internasional. Pada tahun 1954 mulailah masalah ini diangkat untuk pertama kali
dalam sidang PBB, tetapi mengalami
kegagalan karena tidak mencukupi 2/3 jumlah anggota.
3) Usaha kabinet Burhanuddin Harahap Kabinet Burhanuddin
pada tahun 1955 memulai lagi perundingan dalam siding umum PBB. Pada saat itu
Belanda menentukan syarat-syarat yang mengada-ada. Perundingan pun mengalami
deadlock. Indonesia terpaksa membubarkan Uni Indonesia-Belanda pada tanggal 15
februari 1956.
4) Usaha Kabinet Ali II Kabinet Ali II Melanjutkan
tindakan keras kabinet.
Melalui Forum PBB
Kegagalan perjuangan diplomasi
langsung dengan Belanda mendorong pemerintah Indonesia melakukan perjuangan
diplomasi dalam forum PBB. Sejak sidang
tanggal 21 September 1954 pemerintah RI berturut-turut
membawa masalah Irian Barat dalam forum sidang umum PBB. Dalam sidang tersebut
Indonesia meyakinkan bahwa masalah Irian Barat perlu mendapat perhatian
internasional karena masalah itu menunjukkan kenyataan penindasan bangsa lain
terhadap bangsa Indonesia. Akan tetapi, usaha diplomasi dalam forum PBB juga
gagal yang terutama disebabkan oleh adnya dukungan dari negara-negara Eropa
terhadap Belanda yang tergabung dalam blok barat. Dukungan terhadap Belanda
semakin kuat bersamaan dengan meruncingnya pertentangan antara Blok Barat dan
Blok Timur. Dengan demikian, resolusi Irian Barat yang disponsori oleh India
tidak dapat dimenangkan karena tidak mencapai kuorum. Oleh karena dalam setiap
sidang tidak pernah mencapai kuorum, sejak tanggal 10 Desember 1954 PBB
mengesampingkan masalah Irian Barat dalam sidang berikutnyayang berarti
persoalan Irian Barat tidak lagi menjadi urusan PBB.Burhanuddin Harahap dengan membubarkan seluruh isi perjanjian KMB.
Melalui Dukungan Negara-Negara Asia-Afrika.
Gagal melalui cara bilateral, Indonesia juga menempuh jalur diplomasi
secara regional dengan mencari dukungan dari negara-negara Asia Afrika.
Konferensi Asia Afrika yang diadakan di Indonesia tahun 1955 dan dihadiri oleh
29 negara-negara di kawasan Asia Afrika, secara bulat mendukung upaya bangsa
Indonesia untuk memperoleh kembali Irian sebagai wilayah yang sah dari RI.
Tanggal 20 Januari 1965, Bung Karno menarik Indonesia dari keangotaan PBB.
Ini karena PBB tidak menjalankan tugasnya dengan baik dalam menangani persoalan
anggota-anggotanya, termasuk dalam kaitan konflik Indonesia–Malaysia. Ada enam
alasan yang tak bisa dibantah siapa pun, termasuk Sekjen PBB sendiri, yang
menjadi dasar Indonesia menarik diri dari keanggotaan PBB.
1)
Soal kedudukan PBB di Amerika Serikat. Bung Karno
mengkritik, dalam suasana perang dingin Amerika Serikat dan Uni Sovyet lengkap
dengan perang urat syaraf yang terjadi, maka tidak sepatutnya markas PBB justru
berada di salah satu negara pelaku perang dingin tersebut. Bung Karno
mengusulkan agar PBB bermarkas di Jenewa, atau di Asia, Afrika, atau daerah netral
lain di luar blok Amerika dan Sovyet.
2) PBB yang lahir pasca perang dunia
kedua,dimaksudkan untuk bisa menyelesaikan pertikaian antarnegara secara cepat
dan menentukan. Akan tetapi yang terjadi justru PBB selalu tegang dan lamban
dalam menyikapi konflik antar negara. Indonesia mengalami dua kali, yakni saat
pembebasan Irian Barat, dan Malaysia. Dalam kedua perkara itu, PBB tidak
membawa penyelesaian,kecuali hanya menjadi medan perdebatan. Selain itu, pasca
perang dunia II, banyak negara baru, yang baru saja terbebas dari penderitaan
penjajahan, tetapi faktanya dalam piagam-piagam yang dilahirkan maupun dalam
preambule-nya, tidak pernah menyebut perkataan kolonialisme. Singkatnya, PBB
tidak menempatkan negara-negara yang baru merdeka secara proporsional.
3) Organisasi dan
keanggotaan Dewan Keamanan mencerminkan peta ekonomi, militer dan kekuatan
tahun 1945, tidak mencerminkan bangkitnya negara-negara sosialis serta
munculnya perkembangan cepat kemerdekaan negara-negara di Asia dan Afrika. Mereka
tidak diakomodir karena hak veto hanya milik Amerika,Inggris, Rusia,Perancis,
dan Taiwan. Kondisi yang tidak aktual lagi, tetapi tidak ada satu orang pun
yang berusaha bergerak mengubahnya.
4) Soal sekretariat yang selalu dipegang kepala
staf berkebangsaan Amerika. Tidak heran jika hasil kebijakannya banyak
mengakomodasi kepentingan Barat, setidaknya menggunakan sistem Barat. Bung
Karno tidak dapat menunjung tinggi sistem itu dengan dasar, “Imperialisme dan
kolonialisme adalah anak kandung dari sistem Negara Barat. Seperti halnya
mayoritas anggota PBB, aku benci imperialisme dan aku jijik pada kolonialisme.
5) Bung Karno
menganggap PBB keblinger dengan menolak perwakilan Cina, sementara di Dewan
Keamanan duduk Taiwan yang tidak diakui oleh Indonesia. Di mata Bung Karno,
“Dengan mengesampingkan bangsa yang besar, bangsa yang agung dan kuat dalam
arti jumlah penduduk,kebudayaan, kemampuan,peninggalan kebudayaan kuno, suatu
bangsa yang penuh kekuatan dan daya-ekonomi, dengan mengesampingkan bangsa itu,
maka PBB sangat melemahkan kekuatan dan kemampuannya untuk berunding justru
karena ia menolak keanggotaan bangsa yang terbesar di dunia.
6) Tidak adanya
pembagian yang adil di antara personal PBB dalam lembaga-lembaganya. Bekas
ketua UNICEF adalah seorang Amerika. Ketua Dana Khusus adalah Amerika. Badan
Bantuan Teknik PBB diketuai orang Inggris. Bahkan dalam persengketaan Asia
seperti halnya pembentukan
Malaysia, maka plebisit yang gagal yang diselenggarakan PBB, diketuai orang Amerika bernama Michelmore. Bagi sebagian kepala negara,sikap keluar dari PBB dianggap sikap nekad. Bung Karno tidak hanya keluar dari PBB. Lebih dari itu, ia membentuk Konferensi Kekuatan Baru (Conference New Emerging Forces/ Conefo) sebagai alternatif persatuan bangsa-bangsa selain PBB.
Malaysia, maka plebisit yang gagal yang diselenggarakan PBB, diketuai orang Amerika bernama Michelmore. Bagi sebagian kepala negara,sikap keluar dari PBB dianggap sikap nekad. Bung Karno tidak hanya keluar dari PBB. Lebih dari itu, ia membentuk Konferensi Kekuatan Baru (Conference New Emerging Forces/ Conefo) sebagai alternatif persatuan bangsa-bangsa selain PBB.
Konferensi ini sedianya digelar akhir tahun 1966. Langkah tegas dan berani Sukarno langsung
mendapat dukungan banyak negara, khususnya di Asia, Afrika, dan Amerika
Selatan. Bahkan
sebagian Eropa juga
mendukung.Sebagai tandingan Olimpiade, Bung Karno bahkan menyelenggarakan Ganefo (Games of the New Emerging Forces) yang diselenggarakan di Senayan, Jakarta pada 10 -22 November 1963.
Pesta olahraga ini diikuti oleh 2.250 atlet dari 48 negara di Asia,Afrika, Eropa, dan Amerika Selatan, serta diliput sekitar 500 wartawan asing. Bung Karno dengan Conefo dan Ganefo, sudah menunjukkan kepada dunia,
bahwa organisasi bangsa-bangsa tidak mesti harus satu, dan hanya PBB.
mendukung.Sebagai tandingan Olimpiade, Bung Karno bahkan menyelenggarakan Ganefo (Games of the New Emerging Forces) yang diselenggarakan di Senayan, Jakarta pada 10 -22 November 1963.
Pesta olahraga ini diikuti oleh 2.250 atlet dari 48 negara di Asia,Afrika, Eropa, dan Amerika Selatan, serta diliput sekitar 500 wartawan asing. Bung Karno dengan Conefo dan Ganefo, sudah menunjukkan kepada dunia,
bahwa organisasi bangsa-bangsa tidak mesti harus satu, dan hanya PBB.
Namun suara bangsa-bangsa Asia Afrika di dalam forum PBB tetap tidak dapat
menarik dukungan internasional dalam sidang Majelis Umum PBB.
Pembentukan
Pemerintahan Sementara
Perjuangan pembebasan Irian Barat juga ditempuh melalui politik dalam
negeri. Bertepatan dengan HUT Proklamasi Kemerdekaan RI ke- 11, tanggal 17
Agustus 1956, Kabinet Ali Sastroamijoyo membentuk Pemerintahan Sementara Irian
Barat. Tujuan pembentukan pemerintahan sementara dalam hal ini adalah
pernyataan pembentukan Propinsi Irian Barat sebagai bagian dari RI.
Propinsi Irian Barat yang terbentuk itu meliputi wilayah Irian yang masih
diduduki Belanda ditambah daerah Tidore, Oba, Patani dan Wasile di Maluku
Utara. Pusat pemerintahan Propinsi Irian Barat berada di Soasiu, Tidore Maluku.
Sebagai Gubernurnya Sultan Zaenal Abidin Syah ( Sultan Tidore ). Pelantikannya
dilangsungkan tanggal 23 September 1956. Akibat dari pembentukan pemerintahan
sementara Propinsi Irian Barat, antara lain Belanda makin terdesak secara politis.
Selain itu Belanda menyadari bahwa Irian barat merupakan bagian Indonesia yang
berdaulat.
Selain melalui bidang politik usaha perjuangan untuk membebaskan Irian
Barat juga dilancarkan melalui bidang sosial ekonomi. Pada waktu perjuangan
pengembalian Irian Barat melalui Sidang Umum PBB pada tahun 1957, Menteri Luar
Negeri Indonesia, Subandrio menyatakan akan menempuh jalan lain. Jalan lain
yang dimaksud Subandrio memang bukan senjata tetapi berupa konfrontasi ekonomi.
Tanggal 18 Nopember 1957 diadakan gerakan pembebasan Irian Barat dengan
melakukan rapat umum di Jakarta. Rapat umum itu diikuti dengan pemogokan total
oleh kaum buruh yang bekerja di perusahaan-perusahaan Belanda pada tanggal 2
Desember 1957.
Setelah itu terjadilah serentetatn pengambilalihan ( nasionalisasi ) modal
dan berbagai perusahaan milik Belanda. Pengambilalihan tersebut semula
dilakukan spontan oleh rakyat. Akan tetapi, kemudian diatur dengan Peraturan
Pemerintah No. 23 Tahun 1958. Beberapa contoh perusahaan yang diambilalih oleh
Indonesia, antara lain :
a. Perbankan
seperti Nederlance Handel Maat schappij (namanya kemudian menjadi Bank Dagang
Negara).
b. Perkapalan.
c. Perusahaan
Listrik Philips.
d. Beberapa perusahaan
perkebunan.
Untuk
meningkatkan gerakan dan memperkuat persatuan rakyat Indonesia tanggal 10
Februari 1958 permerintah membentuk Front Nasional Pembebasan Irian Barat.